SEBUAH TINJAUAN REFLEKTIF
Penulis : Yuliana Tati Haryatin, S.Pd
PENDAHULUAN
Judul tulisan ini sebenarnya berangkat dari hasil refleksi saya yang hingga saat ini sudah delapan belas tahun mendedikasikan hidupku sebagai seorang guru. Dalam rentangan waktu selama delapan belas tahun itu, begitu banyak kisah pilu, penuh onak dan duri yang telah saya alami. Namun, di balik kisah pilu itu saya juga telah mengalami begitu banyak cerita indah penuh suka cita. “Pada saatnya nanti”, akan kusatukan penggalan-penggalan kisah itu dalam satu buku. Itu mimpiku. Saya percaya bahwa mimpi itu, jika dibarengi dengan kemauan dan kerja keras, akan indah pada waktunya. Satu keyakinaku adalah, Dia, Sang Penulis Agung, pasti akan menyempurnakan mimpiku ini. Tugasku saat ini hanyalah berusaha untuk terus merenda hidupku dengan segala talenta yang kumiliki agar bisa bermakna bagi sesama, terutama melalui karya dan panggilanku sebagai seorang guru.
Dalam tulisan ini, saya mau mengajak rekan guru untuk kembali menyadari profesi kita sebagai panggilan hidup. Untuk itu, kita perlu memahami dulu apa itu profesi guru dan apa itu panggilan hidup. Dari situ, kita akan masuk dalam permenungan tentang profesi guru sebagai panggilan hidup.
PROFESI GURU
Apa itu profesi guru? Secara etimologis, kata “profesi” berasal dari bahasa Inggris “profession” atau dalam bahasa Latin “profecus” yang artinya adalah “mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu” (Danim, Rahayu, 2009:32). Cece Wijaya mengartikan profesi sebagai suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya. Hal ini berarti, pekerjaan itu tidak dapat dikerjakan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak dipersiapkan secara khusus (1994:1). Ada juga yang berpendapat bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang insentif (Saudagar, Idrus, 2009:2). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan persiapan akademik yang dipersiapkan secara khusus dan memiliki standar tertentu yang harus ditaati.
Salah satu profesi penting yang langsung bersentuhan dengan tugas kemanusiaan adalah guru. Kata “guru” berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu kata “gu” yang berarti kegelapan (darkness) dan ‘ru’ yang berarti terang (light). Dengan demikian, guru ditafsirkan sebagai penerang kegelapan (Sinamo, 2010:1). Dalam bahasa Jawa, kata “guru” berasal dari dua kata, yaitu “digugu” dan “ditiru” yang berarti orang yang memiliki kharisma atau wibawa sehingga perlu untuk ditiru dan diteladani (Uno, 2010:15).
Dari dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa guru adalah sosok yang berwibawa karena segala sikap, perilaku, teladan hidup dan seluruh dirinya akan selalu ditiru dan diteladani. Sosok guru adalah orang yang membawa pencerahan, orang yang menerangi setiap orang yang dididiknya sehingga orang yang dididik itu beranjak dari keadaan tidak tahu menjadi tahu. Dalam UU Nomor 14, Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, pasal satu, ayat satu, dinyatakan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah” (www.hukumonline.com/UU RI No.14 tahun 2005/pasal 1,ayat 1). Dengan mengacu kepada rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa begitu banyak tugas dan peranan guru yang harus diembannya, dan tugas itu tentu harus dilakukan secara profesional.
Dalam melaksanakan tugas dan peranannya, seorang guru yang profesional diharapkan memiliki kualifikasi pribadi yang ideal. Kualifikasi tersebut, antara lain, kemantapan dan integritas pribadi, kepekaan terhadap perubahan dan pembaruan, berpikir alternatif, adil, jujur, dan objektif, berdisiplin dalam melaksanakan tugas, ulet dan tekun bekerja, simpatik dan menarik, luwes, bijaksana, sederhana dalam bertindak, bersifat terbuka, kreatif, dan berwibawa ( Bdk. Naim, 2011:44). Agar tugas dan peranannya dalam proses pembelajaran dapat terwujud dengan baik, beberapa hal berikut perlu diperhatikan oleh seorang guru.
Pertama, dari segi kualifikasi, guru perlu memiliki kelayakan akademik yang tidak sekadar dibuktikan dengan gelar dan ijazah, tetapi harus ditopang oleh kualitas diri yang unggul dan profesional. Kedua, dari segi kepribadian, seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik, yang dilandasi dengan akhlak mulia. Ketiga, dari segi pembelajaran, guru perlu memahami ilmu teori dan praktik pendidikan dan kurikulum sehingga mampu mendesain pembelajaran dengan baik, mampu mengimplementasi program pembelajaran dengan seni pembelajaran yang efektif, mampu mengevaluasi pembelajaran secara potensial, dan sebagai titik akhirnya adalah mampu menghantarkan pembelajaran siswa dengan sukses. Keempat, dari segi sosial, guru sebagai pendidik perlu memiliki kepekaan sosial dalam menghadapi fenomena sosial di sekitarnya, karena guru adalah salah satu elemen masyarakat yang memiliki sumber daya yang berbeda kualitasnya dibandingkan dengan elemen masyarakat yang lainnya. Kelima, dari segi religius, guru perlu memiliki komitmen keagamaan yang tinggi, yang dimanifestasikan secara cerdas dan kreatif dalam kehidupannya (Bdk. Naim, 2011:34-35).
Berdasarkan paparan di atas secara sederhana dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang guru tidaklah mudah. Seorang guru dituntut untuk memiliki sejumlah keahlian dan kepribadian yang baik. Seorang yang telah memilih guru sebagai profesinya seyogyanya harus membangun komitmen pribadi untuk total melaksanakan segala tugas dan kewajibannya sebagai guru dengan baik. Karena itu, seorang guru harus sungguh memahami tugas profesinya sebagai suatu panggilan hidup.
PROFESI GURU: SEBUAH PANGGILAN HIDUP
Profesi guru adalah profesi yang sungguh mulia. Mengapa? Karena tugas seorang guru bersentuhan langsung dengan proyek kemanusiaan. Karena berkaitan dengan tugas kemanusiaan, seorang guru harus sungguh menyadari profesinya sebagai sebuah panggilan hidup. Menurut Sinamo, “panggilan tidak hanya diterjemahkan sebagai calling, tetapi juga vocation yaitu bidang pekerjaan khusus yang kita tekuni sebagai bentuk panggilan Tuhan buat kita (2010 : 68 ). Hal ini menunjukkan bahwa panggilan Allah terhadap manusia berlangsung terus melalui berbagai peristiwa yang dihadapi manusia. Sejak awal manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Sebab itu manusia memiliki kesempurnan yang paling tinggi dibandingkan dengan ciptaan lain. Itu menunjukkan bahwa manusia adalah harta kesayangan Allah, makhluk paling sempurna, yang dipanggil dan dikutsertakan dalam karya Allah, yakni mengembangkan dan menyempurnakan kehidupan (Bdk. Kej 1:26-28). Panggilan itu terjadi melalui berbagai dinamilka hidup manusia baik dari segi pilihan status hidup maupun pilihan bidang karier. Panggilan dari segi status hidup, contohnya, panggilan hidup berkeluarga, panggilan hidup membiara (khusus yang beragama Katolik), dan panggilan hidup sebagai rohaniwan. Sedangkan panggilan dari segi karier, contohnya, menjadi dokter, guru, polisi, dan psikolog. Dalam ulasan ini, yang saya soroti adalah panggilan menjadi guru.
Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi guru harus menyadari bahwa tugas guru adalah sebuah panggilan dari Tuhan sendiri. Dalam panggilan ini, Tuhan mengajak umat-Nya untuk melayani sesama. Pelayanan terhadap sesama sebenarnya juga adalah pelayanan terhadap Tuhan (Bdk. Mat 25:40). Tuhan memberikan satu kerinduan kepada setiap orang untuk melayani Dia. Menghayati panggilan guru pada hakekatnya berarti menyerahkan hati dan seluruh dirinya dengan penuh cinta kepada para murid yang dikasihinya.
Sebagai sebuah panggilan hidup, seorang guru dituntut untuk mengabdikan diri dengan totalitas yang tinggi. Hatinya harus mencintai profesi ini. Segenap jiwa dan raganya harus benar-benar tercurah untuk anak didiknya. Dia tidak hanya menjalankan tugasnya hanya karena tuntutan profesi semata. Jika hanya karena tuntutan profesi, hemat saya, asalkan dia menempuh pendidikan sesuai dengan disiplin ilmunya dan memenuhi persyaratan administratif, legalitas formal sebagai seorang guru sudah resmi disandang. Dengan menyandang status guru, tentu, secara otomatis dia terikat dengan standar profesionalitas sebuah profesi guru.
Namun, tidak demikian halnya dengan tugas guru sebagai sebuah panggilan hidup. Pater Servulus Isaak, SVD, dalam buku yang berjudul ”Menjadi Abdi Menghalau Gelap Budi, Menyingsing Fajar Pengetahuan”, menegaskan bahwa “bagi seorang Katolik, tugas sebagai guru dan pendidik bukanlah cuma suatu profesi, melainkan lebih dari itu suatu panggilan hidup sebagai rasul yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan komitmen” (Bdk. Deki, 2008:183). Pernyataan ini mau menegaskan bahwa tugas seorang guru sebenarnya adalah suatu tugas panggilan yang luhur dan mulia. Disebut luhur dan mulia karena tugas itu adalah panggilan dari Tuhan sendiri untuk memanusiakan manusia. Tugas memanusiakan manusia ini tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh tanggung jawab dan konsisten dari seorang guru. Sosoknya harus benar-benar menjadi pribadi yang inspiratif, yang mampu mengubah kehidupan peserta didiknya menjadi lebih bermakna dan bermartabat.
Persoalannya adalah apakah semua orang yang telah menekuni profesi guru telah menyadari tugasnya sebagai sebuah panggilan hidup. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini karerna hati setiap gurulah yang paling tahu. Namun jika bertolak dari hasil pengamatannya, penulis harus jujur mengatakan bahwa tidak semua guru telah menyadari dan menjalankan secara serius tugasnya sebagai sebuah panggilan hidup. Mengapa demikian? Ada banyak faktor penyebabnya. Bisa karena faktor internal, dari dalam pribadi guru itu sendiri, bisa juga karena faktor eksternal.
Faktor internal, misalnya, motivasi dari guru itu sendiri untuk menjalankan profesi guru. Mengapa saya menjadi guru? Apa tujuan saya memilih profesi guru? Apakah saya pantas dan layak disebut sebagai guru? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu bisa beranekaragam sesuai dengan pribadi guru itu sendiri. Bisa karena terpaksa, bisa juga karena tidak ada pilihan lain. Daripada tidak bekerja sama sekali, lebih baik menjadi guru saja. Akibatnya, ketika dia menjalankan tugas , terkesan hanya asal-asalan, tidak serius, malas, bahkan jarang masuk kelas. Dia seperti robot yang bernyawa, tidak punya jiwa mendidik. Mengajar dilihatnya sebagai beban. Guru seperti ini, tentu, akan membawa bencana bagi generasi bangsa.
Faktor eksternal, misalnya, kesejahteraan guru yang jauh di bawah standar. Untunglah dalam beberapa tahun terakhir ini sudah ada tunjangan sertifikasi guru dan berbagai tunjangan lainnya bagi yang tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi. Namun, tidak semua guru mendapatkan tunjangan itu. Di luar sana masih begitu banyak guru yang kondisi ekonominya sangat memprihatinkan. Saat kebutuhan “asap dapur” tidak mencukupi, bagaimana mungkin seorang guru dapat mengajar dengan baik? Di tengah ekonomi yang morat marit, guru harus terbagi konsentrasinya antara menjalankan tugas profesi atau mencari peluang yang lain untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Jadinya, ada semacam kesan bahwa guru tidak serius dalam menjalankan tugasnya.
Walaupun demikian situasinya, kita bersyukur bahwa ada banyak juga kisah inspiratif tentang pengabdian seorang guru yang sungguh menyadari profesinya sebagai sebuah panggilan hidup. Sesulit apa pun situasi yang dihadapi, mereka tetap setia menjalankan tugasnya. Jiwannya selalu terpanggil untuk menjalankan profesi ini, karena di matanya, peserta didik adalah nomor satu. Wajah-wajah anak bangsa yang telah dititipkah Tuhan kepadanya akan selalu terbayang di pelupuknya, sehingga hatinya selalu tergerak untuk mengajar dan mendidik mereka.
Masing-masing kita, tentu, memiliki sosok seorang guru yang begitu inspirati dan dikagumi. Dalam hati kita, nama-nama mereka tertulis indah dan abadi. Sosok mereka begitu berkesan dan melekat dalam hati kita karena jasa dan pengabdiannya yang sungguh luar biasa. Mereka telah menorehkan begitu banyak kenangan dan pengalaman indah yang mampu mengubah hidup kita menjadi lebih baik. Sosok-sosok itu begitu mempesona dan berdaya pikat karena mereka menjalankan tugas tidak hanya karena tuntutan profesi semata. Seluruh dirinya, sikap, dan teladan hidup mereka telah mampu memberikan pengaruh positif ke dalam jiwa setiap peserta didiknya.
Bagaimana dengan kita? Apakah nama kita juga berada di deretan sosok guru yang inspiratif itu? Biarkan mereka (peserta didik) yang menjawabnya. Jika nama kita ada dalam cerita indah peserta didik, itu hanyalah bonus dari benih-benih kasih yang telah kita taburkan di hati mereka. Yang kita lakukan hanyalah terus mengabdikan diri dengan segenap jiwa dan raga demi mencerdaskan generasi penerus bangsa. Tidak mudah, memang, karena tantangan yang kita hadapi di era milenium ini semakin kompleks. Kemajuan tekhnologi yang semakin canggih telah banyak menggantikan fungsi guru sebagai satu-satuya sumber belajar. Setiap orang bisa mencari sumber belajar di internet. Bahkan aktivitas pembelajaran pada saat ini, lagi ramai-ramainya dilakukan melalui media digital. Namun, hemat penulis, secanggih apa pun tekhnologi yang digunakan, media itu tidak pernah menggantikan posisi guru di hati siswa. Sentuhan langsung antara guru dan siswa lebih dasyat pengaruhnya ketimbang siswa hanya belajar lewat media. Mengapa? Karna guru tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik. Mengajar mungkin bisa digantikan oleh media, tetapi tidak dengan mendidik. Mendidik adalah proses memanusiakan manusia. Itu mengandaikan bahwa ada dialog langsung, face to face, dari hati ke hati antara guru dan siswa.
Kekayaan-kekayaan hatinya menjadi lautan sumber inspirasi untuk siswanya. Relasi personal antara guru dan murid adalah subjek yang otonom. Dalam relasi itu dilaksanakan kegiatan yang menjain dan mempersatukan mereka satu sama lain, meski tanpa banyak kata. Kehadiran guru di dalam ruang kelas selama proses pembelajaran secara eksplisit telah mengarahkan nilai-nilai kehidupan seperti didiplin waktu, etos kerja yang tinggi, dan kesetiaan terhadap tugas. Nilai-nilai inilah yang menyentuh hati para siswa. Saat semuanya dilakukan dengan hati yang penuh kasih, secara tidak langsung seorang guru sebenarnya telah memberikan pesan-pesan indah kepada siswanya. Begitupun di luar kelas, dalam kehidupan nyata, ketika seorang guru menampilkan kepribadian yang baik dan berakhlak mulia, saat itulah ia sedang mendidik para muridnya dengan kekayaan hatinya.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menjalankan profesi ini dengan sepenuh hati? Apakah kita sungguh menyadari bahwa profesi ini adalah sebuah panggilan hidup? Mestinya, tidak ada keraguan lagi untuk menjawab “YA.” Sang Guru Ilahi, telah memberikan contoh bagaimana menjadi guru sejati. Tugas guru adalah sebuah panggilan. Sebagai sebuah panggilan, jiwa harus menyatu dalam tugas itu. Sang Ilahi telah memberikan amanat itu kepada kita untuk mencerdaskan generasi bangsa. Ini adalah sebuah tugas yang tidak gampang. Ada begitu banyak cerita kelabu tentang nasib guru yang tertatih-tatih berjuang untuk mendidik generasi bangsa ini. Tak sedikit yang berada di balik jeruji besi. Juga ada yang meregang nyawa di tangan siswanya. Untuk mereka yang telah berjuang hingga titik darah penghabisan, mari kita tundukkan kepala sejenak seraya mendoakan mereka agar bahagia dalam keabadian. Untuk kita yang masih mengembara di dunia ini, mari terus berkarya menjalankan profesi ini dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab. Karena, sejatinya, profesi ini adalah sebuah panggilan hidup. Pada saatnya nanti, kita akan diminta pertanggungjwaban oleh Tuhan atas apa yang telah kita jalankan.
PENUTUP
Di akhir tulisan ini, saya mengajak rekan seprofesi untuk menyadari kembali tugas dan panggilan kita sebagai guru. Luangkan waktu sejenak, sembari mendengarkan suara-Nya yang terus bergema dalam batin kita, yang telah memanggil kita menjadi guru. Mari bertanya dalam hati masing-masing, banggakah saya menjadi guru? Apakah saya sungguh mencintai profesi ini? Hanya hati kita yang bisa menjawabnya. Saya berharap, kita semua menjawab, “Ya, kami sungguh bangga menjadi guru. Ya, kami mencintai profesi ini.” Bagaimana kita tidak bangga? Pribadi yang kita hadapi adalah pribadi manusia yang telah diciptakan Tuhan dengan segala keunikan dan keistimewaannya. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang telah dititipkan Tuhan kepada kita untuk dilatih, diajar, dididik, dan dibentuk agar bisa bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih manusiawi. Berbagai cerita pilu dan kegembiraan yang telah kita alami dalam profesi ini membuat hidup kita sungguh diperkaya.
Tugas guru adalah tugas yang mulia. Karena itu, kita diharapkan sungguh menyadari profesi ini sebagai sebuah panggilan hidup. Dengan demikian, apa dan bagaimanapun situasi yang kita alami, tidak mengurungkan niat dan daya juang kita untuk terus memberikan pelayanan pendidikan dengan segenap jiwa dan raga kita. Mari terus berkarya menjalankan profesi ini dengan penuh cinta. Profesi guru adalah sebuah panggilan hidup dari Tuhan sendiri dan ketika tiba saatnya nanti, Tuhan akan meminta pertanggunjawaban kita. Saat kita menjalankan tugas dan panggilan ini dengan segenap cinta, hati kita dipenuhi sukacita dan kebahagiaan karena kita telah memberikan pesan-pesan indah kepada generasi kita melaui profesi kita sebagai guru. Ingatlah selalu, profesi guru adalah sebuah panggilan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Alkitab Indonesia (Penerjemah), 2011. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: LAI
Danim, Sudarwan & Rahayu,Wiwien W. 2009. Profesi dan Profesionalisasi.Yogyakarta:Paradigma Indonesia
Deki, Kanisius T. ( Editor). 2008. Menjadi Abdi, Menghalau Gelap Budi, Menyingsing Fajar Pengetahuan. Maumere: Ledalero.
Naim, Ngainum. 2011. Menjadi Guru Inspiratif, Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup siswa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Saudagar, Fachruddin dan Idrus, Ali. 2009. Pengembangan Profesionalitas Guru. Jakarta: Gaung Persada
Sinamo,H. Jansen. 2010. 8 Etos Keguruan. Jakarta: Institut Darma Mahardika.
Uno, H.Hamzah B. 2010. Profesi Kependidikan. Jakarta:Bumi Aksara
Wijaya, Cece. Kemampuan Guru dalam Proses Mengajar. Bandung: PT. Remaja Roesdakarya, 1994
www.hukumonline.com/UU RI No 14 tahun 2005/pasal 1 ayat 1 diunduh pada tanggal 20 Juni 2020
( *Penulis adalah Guru di SMAN I Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat
Akun media sosial :
- Chanel Youtube : Yul Haryatin
- Facebook : Yuliana Tati Haryatin
- Instragram : -yulianatatiharyatin02
** Tulisan ini sudah dimuat dalam buku antalogi yang ber-ISSBN oleh komunitas Guru Mabar Menulis